Dipost Ulang Oleh :
Ahmad Fikri Nabil
Universitas Hasyim Asy'ari
Tebuireng - Jombang
PP Al- Aqobah 4 Jombang
Kunjungi Sumbernya : https://dedenfaoz.wordpress.com/2008/01/04/pembelajaran-moral-santri/
sumber :http://www.formasirua.or.id/wp-content/uploads/2015/12/santri-kontemporer.jpg
1Doyannonton - Kabar yang menyedihkan pernah “menyapa” sebuah
departemen yang seharusnya bisa memberi contoh kepada departemen lain,
departemen yang sebagian anggotanya pernah menjadi santri, ironis
memang. Para santri hampir setiap hari mendapatkan pelajaran moral yang
didapat dari quran, hadits, mahfuzhat, ceramah, doktrin dsb.
Sepantasnya “gemblengan”ini menjadikan santri “lebih soleh” dibandingkan
mereka yang “bukan santri” yang tidak mengenyam pesan agama sesering
para santri.
sudah saatnya bagi pemerhati
pendidikan Islam untuk mulai mengevaluasi metodologi pembelajaran di
pesantren, khususnya pembelajaran moral. Metodologi pembelajaran moral
saat ini apakah bisa mengajak para santri untuk merasakan dan mengerti
kandungan sebenarnya dari pesan moral yang disampaikan. Pesan moral yang
diajarkan islam itu sempurna, tetapi bila cara penyampaiannya tidak
tepat, maka tidak akan menjadi pengekang bilamana seseorang lupa.
Berdasar pada pengalaman pribadi,
kebanyakan guru pesantren mengajarkan akhlak dengan menitik beratkan
hafalan dan pemahaman arti harfiah. dulu waktu nyantri, kitab akhlakul
banin, yaitu kitab yang menjadi pedoman dasar pengembangan akhlak pemula
di pesantren salaf , diajarkan dengan metode sorogan dimana guru
membaca dan mengartikan kata perkata. Ketika selesai menerangkan,
semuanya mendapatkan giliran membaca kembali apa yang sudah diartikan,
sayangnya mereka jarang ditanya sejauh mana mereka memahami pesan itu,
malahan yang hafal di luar kepala bisa pulang duluan. Ustadz saya selalu
menerangkan “kalian kalau melakukan ini akan disiksa di neraka,
dibenci tuhan, tidak akan masuk surga dll”. Alasan agama selalu menjadi
motif utama apakah suatu perbuatan dilakukan atau tidak. padahal masih
banyak alasan yang bisa dijelaskan secara logika, tapi sayang logika
jarang dipakai. contohnya ketika santri ditanya tentang alasan menjaga
kebersihan, jawaban pertama yang muncul adalah kebersihan itu sebagian
dari iman, tetapi apakah mereka benar-benar mengerti alasan ” kenapa
kebersihan itu menjadi bagian dari iman?”, sepertinya tidak semua santri
bisa menjawabnya. bila suatu pesan moral diajarkan hanya dari segi
agama dikhawatirkan keimanan seseorang berkurang sehingga dia akan
kehilangan alat pengekangnya. peran pemakaian logika dalam penyampaian
pesan agama sangat penting sekali karena penggunaan logika akan mengarah
kepada pemahaman yang hakiki tentang suatu pesan. c
seorang pengajar materi moral harus
membekali dirinya dengan kemampuan menganalisa suatu masalah dari
berbagai sudut pandang, bukan hanya dari dalil agama. sebagai contoh
bila hendak melarang santri untuk meludah di sembarang tempat, dia harus
bisa menganalisanya dari sudut kesehatan atau dampaknya pada
lingkungan.
Berguru pada orang jepang, seperti
yang saya alami hablun minan naas mereka atau hubungan antar sesama
manusianya boleh dikatakan lebih baik dari orang indonesia, padahal
orang jepang menganggap agama itu bukan hal yang penting, terbukti dari
banyaknya masyarakat jepang yang beragama lebih dari satu atau percaya
pada semua tuhan. Hal ini menjadi pertanyaan yang besar buat kita orang
indonesia yang menjadikan agama sebagai “way of life”, kenapa hal ini
bisa terjadi. sepertinya perlu tafakkur yang lebih mendalam lagi tentang
metodologi pembelajaran moral yang pernah dialami.
Ada beberapa masalah mendasar yang
harus dievaluasi lagi tentang cara penyampaian materi moral di
dunia pesantren, diantaranya:
- kurangnya pemakaian logika dalam penyampaian materi moral. Para guru hanya memakai dalil-dalil agama. contohnya alasan larangan ghibah sering hanya ditekankan dari dalil quran atau hadis. padahal ghibah bisa dijelaskan dari beberapa aspek, baik sosial, kemanusiaan ataupun keamanan. pemakaian logika masih jarang dilakukan sehingga kurang membentuk pemahaman yang hakiki di jiwa santri.
- banyaknya materi moral yang diterima santri dan disampaikan tanpa penjelasan yang jelas tentang intisarinya.
- cara evaluasi yang kurang tepat. kebanyakan evaluasi dilakukan dengan keharusan menghapal pesan moral tersebut, seperti dalam pelajaran mahfuzot. juga evaluasi hanya dilakukan dengan mengukur kemampuan santri dalam membaca dan mengartikan kalimat dalam bahasa arab, seperti kitab akhlakul banin.
- cara penyampaian yang lebih cenderung berbentuk satu arah, santri hanya menjadi pendengar “setia”.
pemakaian audio visual dalam
penyampaian materi moral sangat membantu memahamkan pesan kepada santri,
seperti pemutaran film hidayah. bahkan efeknya bisa lebih besar dari
ceramah biasa. pemutaran film ini bisa dikatakan praktikum dari teori
yang telah disampaikan, teori yang dibarengi dengan praktik akan lebih
mudah dipahami dan lebih berbekas.
Materi moral harus dipahami,
dihayati dan dirasakan oleh santri. materi itu harus masuk kedalam hati
para santri dan betul-betul dimengerti. Pesan moral harus dijelaskan
bukan hanya dari segi agama, tapi juga dari sisi kemanusiaan tanpa
memandang agama, runtutan akibatnya, penjelasan ilmiahnya dll.
Semua santri harus bisa menjelaskan
secara logika alasan dan inti sebenarnya dari suatu pesan moral. Bukan
hanya dengan menghapalnya di luar kepala dan bukan pula hanya karena
takut neraka atau ingin masuk surga.
0 komentar:
Post a Comment