STOCK TERBATAS !!

Saturday, January 30, 2016

FILM INDONESIA TERBAIK VERSI DETIK.COM

Dipost Oleh :

Ahmad Fikri Nabil

1Doyannonton - Komedian tunggal Ernest Prakasa menjadi kejutan kecil bagi perfilman Indonesia di pengujung tahun 2015. Kejutan sebelumnya datang dari sebuah produksi independen yang tak diniatkan untuk tayang di jaringan bioskop komersial, yang ternyata berhasil memikat hati para juri Festival Film Indonesia (FFI). Sebuah remake dari karya Asrul Sani pada 1973 juga ikut mewarnai layar film lokal tahun ini. detikHOT mengundang pengamat perfilman Shandy Gasella untuk menyusun 10 Film Terbaik 2015. Berikut daftarnya, diurutkan dari peringkat ke-10:

10. Jenderal Soedirman

Di pengujung 1948 terjadi agresi militer ke-2 yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Indonesia. Mereka mengincar Yogyakarta yang kala itu berstatus sebagai ibukota negara. Suasana genting dan mencekam. Alkisah dalam film ini Bung Karno (Baim Wong, 'Ketika Bung di Ende') dan Hatta (Nugie) meminta Soedirman (Adipati Dolken, 'Adriana', 'Sang Kiai') agar berlindung di keraton sultan bersama mereka dan segenap pemimpin politik lainnya. Namun, Soedirman menolak. Ia beserta anak buah dan dokter pribadinya memilih untuk masuk ke hutan, memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan lamanya. Film ini berfokus pada periode tersebut. Sepanjang 126 menit, kita diajak mengintil ke mana pun Soedirman "berperang secara blusukan" dari satu hutan ke hutan lain. Saya suka bagaimana sutradara Viva Westi menghadirkan adegan demi adegan petualangan Soedirman dan pasukannya di dalam hutan menjadi seru tak membosankan, padahal setting-nya hutan melulu. Selalu ada saja bagian-bagian hutan yang menarik dan berbeda yang ditampilkan dalam shot-shot ala kartu pos yang tak hanya sekadar indah, melainkan ikut menguatkan konteks cerita. 'Jenderal Soedirman' merupakan satu dari sedikit sekali film yang mengetengahkan kisah perjuangan kemerdekaan dengan sangat menghibur.

9. Ngenest


Siapa sangka komedian panggung Ernest Prakasa yang selama ini sering tampil di sejumlah film dalam peran-peran pendukung sebagai tokoh "badut" pengundang gelak tawa belaka, ketika diberi kesempatan menjadi pemeran utama sekaligus menulis dan menyutradarai sendiri, hasilnya sungguh di luar dugaan. 'Ngenest' jadi film komedi terbaik tahun ini, bukan semata karena film ini berhasil memberikan lelucon-lelucon yang konsisten tiada henti, 'Ngenest' juga dibekali naskah yang mumpuni tulisan Ernest dan Jenny Jusuf ('Filosofi Kopi'). Berkisah soal Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) yang sedari lahir selalu di-bully oleh orang-orang di sekitarnya lantaran ia orang (beretnis) Cina, pada satu masa bertekad untuk mencegah agar keturunannya tak bernasib sama dengannya, caranya ialah dengan menikahi cewek pribumi, dan berharap agar keturunannya kelak tak memiliki mata sipit sepertinya. 'Ngenest' tampil solid sepanjang durasi film, dan misinya untuk menghibur penonton paripurna. Selain Cina, Ernest juga ternyata bisa berakting dengan cukup baik.

8. Nada untuk Asa


Alkisah Nada (Marsha Timothy, 'Pintu Terlarang', 'Tampan Tailor') harus menerima kenyataan pahit tatkala suaminya, Bobby (cameo dari Irgi Fahrezi), meninggal dunia akibat kanker. Film ini dibuka dengan adegan pemakaman Bobby yang dipenuhi sedu sedan sanak keluarga. Nada amat terpukul dengan kepergiannya. Kini, ia harus merawat tiga anaknya seorang diri; dua anak cowok umur 6-7 tahunan dan Asa yang masih bayi. Beban yang baru saja dipikul Nada terasa semakin berat manakala ia harus menerima satu kenyataan pahit lainnya, bahwa Bobby mengidap HIV/AIDS di pengujung sisa hidupnya. Seorang dokter (Donny Damara, 'Lovely Man') menyarankan agar Nada memeriksakan dirinya segera untuk memastikan apakah ia tertular atau tidak. Film ini menampilkan adegan dialog antara pasien-dokter yang terbaik yang pernah ada dibandingkan film-film lain yang pernah menampilkan adegan serupa. Tentu saja dalam cerita semacam ini tokoh utama kita akan menderita, menangis terisak pilu penuh ratapan sendu. Dan, ya, film ini memang dipenuhi isakan-isakan tangis, namun bukan semata-mata untuk menangisi sang tokoh utama kita yang "terdzolimi". Sutradara sekaligus penulis naskah Charles Gozali ('Finding Srimulat') berhasil menghadirkan film penuh isak tangis ini tanpa membuatnya jadi sekedar gelaran drama menye-menye. Naskah yang ditulisnya ini dipenuhi dialog-dialog cerdas, pun dalam tema film yang gelap ia masih sempat pula menyelipkan guyonan-guyonan segar. Setelah membuat 'Finding Srimulat', 'Nada untuk Asa' seakan menegaskan bahwa Charles Gozali bukanlah sutradara sembarangan.

7. Filosofi Kopi


Angga Dwimas Sasongko (Cahaya dari Timur Beta Maluku) menyajikan kisah persahabatan, nilai-nilai keluarga, cinta, dan bercangkir-cangkir kopi dalam 'Filosofi Kopi' yang diadaptasi dari kumpulan cerpen berjudul sama karangan Dee Lestari, naskah skenarionya sendiri ditulis oleh Jenny Jusuf dan berbuah Piala Citra untuk Skenario Adaptasi Terbaik. Film ini berkisah soal Ben (Chicco Jerikho, 'Cahaya dari Timur Beta Maluku') dan Jody (Rio Dewanto, 'Modus Anomali') yang sahabatan sedari kecil, Ben jago bikin kopi dan merasa paling ngerti soal kopi, sedangkan Jody hanya pandai berbisnis, lantas keduanya mengelola kedai kopi bersama hingga ancaman kebangkrutan kemudian memaksa mereka untuk berpetualang menemukan kopi terbaik. 'Filosofi Kopi' tampil dengan look yang keren, dan Angga mengemas film ini seperti Ben meracik kopi, dengan cara-caranya yang sophisticated.

6. Toba Dreams


'Toba Dreams' berbicara soal cinta, mimpi, dan ambisi. Sebagai orangtua, Pak Tebe (Mathias Muchus, 'Garuda 19') bermimpi agar anak-anaknya dapat meraih kesuksesan dan kehormatan. Namun, terkadang seorang anak memiliki mimpi dan ambisinya sendiri yang ingin diwujudkannya, padahal --ironisnya-- tujuannya untuk membahagiakan orangtuanya juga. Di sinilah Pak Tebe dan anaknya, Ronggur (Vino G. Bastian, 'Tampan Tailor') memiliki cara yang berbeda dalam menggapai mimpi-mimpi mereka. Keduanya sering tak sepaham hingga saling bermusuhan, lantas timbul rasa benci yang mengakar begitu dalam pada diri masing-masing. Film ini bukanlah otobiografis TB Silalahi, melainkah kisah fiksi yang jalan ceritanya sama sekali tak bertalian langsung dengan kehidupan mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara itu. Satu-satunya benang merah yang menghubungkannya dengan film ini adalah sebatas penggunaan nama "Pak Tebe" untuk tokoh yang diperankan Mathias Muchus. Sutradara Benni Setiawan ('Madre', 'Bukan Cinta Biasa') yang sekaligus menulis skrip film ini berdasarkan novel berjudul sama karya TB Silalahi berhasil menerjemahkan materi novel ke dalam bahasa film dengan cara-cara yang selama ini belum pernah ia capai sebelumnya. Ini lompatan jauh yang dicapai Benni selepas kali terakhir membesut 'Love and Faith' dan 'Sepatu Dahlan' yang secara kualitas amat mengecewakan. Melalui 'Toba Dreams' Benni mendapatkan kembali reputasinya sebagai salah seorang sutradara yang mumpuni di Tanah Air. Ia begitu jeli mengemas 'Toba Dreams', dan tahu betul bagaimana mengakhiri kisah film ini dengan manis, haru, namun juga menggetarkan.

5. Kapan Kawin?


Komedi romantis merupakan genre film yang sering kali gagal tergarap dengan baik oleh sineas kita. Jangankan komedi romantis, menemukan tontonan komedi saja (tanpa embel-embel romantis) yang benar-benar lucu di negeri ini ibarat melihat warga Jakarta menyeberang jalan di atas zebra cross, hampir tak akan pernah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. 'Kapan Kawin?' bercerita tentang seorang perawan (hampir) tua bernama Dinda (Adinia Wirasti, 'Selamat Pagi Malam') yang terpaksa menyewa seorang aktor kere sok keren nan idealis, Satrio (Reza Rahadian, 'Strawberry Surprise') untuk pura-pura jadi pacarnya, dan lantas dikenalkan kepada kedua orangtuanya yang sudah kelewat sering meneror dirinya untuk segera punya calon suami. Premisnya memang agak klise, kita pun sedari awal sudah tahu toh pada akhirnya nanti mereka berdua bakal saling mencintai satu sama lain. Namun, premis tinggallah premis, yang istimewa adalah bagaimana sutradara Ody C. Harahap mengeksekusinya. Dan, dia sukses mengolah premis yang terdengar klise tadi jadi sebuah tontonan komedi romantis yang segar tiada duanya. Saya merasakan bahwa dalam rangka untuk membuat penontonnya senang, pembuat film ini sudah senang dulu. Maka ketika senang itu dibagikan kepada kita, menjadi nyatalah adanya.


4. Guru Bangsa Tjokroaminoto



Setelah 'Mata Tertutup', ini adalah film Garin Nugroho yang paling "ngepop" dengan bonus kekayaan visual dan gaya narasi yang setara dengan 'Opera Jawa'. Jangan bayangkan sebuah film "berat" yang "terlalu nyeni" dan sulit dipahami. Tentu saja, ada debat-debat mengenai masalah-masalah kebangsaan dan kerakyatan di masa itu, yang terjadi antara anak-anak muda murid-murid Tjokro. Kita akan bertemu dengan Semaoen, Darsono, Muso, Agus Salim hingga Koesno (Sukarno). Namun, semua itu direkonstruksi dengan menarik, dalam gaya pemanggungan ala teater tanpa terlepas dari alur. Lihat, misalnya, bagaimana Tjokro yang selalu bertanya pada Agus Salim, "Sampai di mana hijrah kita?" duduk di sebuah panggung ludruk. Agus Salim, anak muda dari Sumatera yang selalu tampil necis dengan jasnya, berdiri di sisinya. Inilah yang konsisten dari Garin: filmnya selalu menjadi tempat bagi kembalinya seni-seni pinggiran, daya-daya hidup yang terlupakan, dari lagu dolanan hingga kidungan ala Cak Kartolo. Sungguh ajaib dan mengejutkan, bahwa semua itu masih bisa dilakukan (baca: diselipkan) oleh Garin di sebuah film biopik dan sejarah, yang dalam common sense menghendaki keketatan dalam narasi, data dan informasi. Orang bisa sepakat dan suka, atau sebaliknya, merasa semua ini aneh, tapi Garin selalu punya celah untuk membuat terjemahan bebas, tafsir-tafsir yang radikal, hingga kita bisa menyaksikan aktris Chelsea Islan dalam persembahan akting terbaiknya sebagai Stella, duduk di ayunan membaca puisi Tagore bersama sahabatnya, Bagong. Ya, Bagong yang anaknya Semar itu!

3. Bulan di Atas Kuburan


Bulan di Atas Kuburan' versi 2015 besutan Edo W.F. Sitanggang ini adalah film bikin-ulang dari karya Asrul Sani berjudul sama yang rilis pada 1973. Film ini berkisah tentang para perantau dari Samosir yang hijrah ke Jakarta, kota dengan segala mimpi gemerlapan. Sebuah premis yang tuturan kisahnya biasanya berakhir manis di film-film lain; sang tokoh utama sukses, kaya raya dan bahagia. Ada sebutannya sendiri untuk film jenis ini di Indonesia; "film inspiratif". Namun, 'Bulan di Atas Kuburan' tak senada dengan cerita-cerita "inspiratif" tentang orang susah yang lantas jadi orang kaya di ibukota. Penulis naskah Dirmawan Hatta ('Optatissimus', 'The Mirror Never Lies') menghadirkan cerita tentang para perantau yang datang ke Jakarta ini dengan sudut pandang yang berbeda; sinis, ironis, juga kejam! Film ini dipenuhi begitu banyak pemain, yang hebatnya, semuanya tampil maksimal. Usai menonton, saat credit title bergulir, film ini mampu membuat saya duduk tertegun cukup lama, baru kemudian saya terisak sambil menahan helaan napas dari dada yang terasa amat sesak. Lama sekali rasa itu pergi, bahkan kini saat saya mengingatnya kembali, rasa itu belum juga pergi.

2. Siti



'Siti' terpilih sebagai film terbaik FFI 2015, film terbaik AFI 2015, dan film ini juga sudah wara-wiri ke festival-festival film di berbagai belahan dunia sepanjang tahun ini. Film hitam putih yang berkisah tentang sekelumit hidup Siti (Sekar Sari), seorang pemandu lagu di sebuah karaoke ecek-ecek di daerah pesisir Jogja, secara mengejutkan sukses menyedot perhatian insan perfilman nasional. Film ini unik, bukan karena ia sekedar hitam putih dan tampil dalam aspect ratio 4:3, melainkan karena ia digarap sedemikian nyeleneh oleh sutradara Eddie Cahyono, betapa tidak, 'Siti' menampilkan persoalan-persoalan hidup orang Jawa kelas bawah dalam dialog-dialog berbahasa Jawa namun esensi dialognya seakan keluar dari budaya kearifan Barat. Bahasa gambar film ini menghipnotis, dan dalam deskripsi yang paling sederhana, 'Siti' adalah "sinema Jawa at its finest".

1. Mencari Hilal


Sejak kemunculan film 'Ayat-ayat Cinta' yang menumbuhkan pakem genre religi arus utama, baru kali ini film "dakwah" dibuat seciamik ini. 'Mencari Hilal' adalah berkah bagi khazanah perfilman Indonesia dari sutradara pendatang baru Ismail Basbeth. Saya menyebutnya berkah lantaran film ini mendatangkan kebaikan bagi skena perfilman Indonesia, dan sudah sepatutnya ia dijadikan standar barometer bagi film-film religi seperti 'The Raid' bagi film-film action. Saya muak dengan banyaknya film religi yang kerapkali hanya menampilkan persoalan-persoalan remeh; tentang susahnya menjadi insan yang sholeh, tentang susahnya berhijab (sambil tampil penuh gaya kekinian), atau tentang betapa susahnya dan penuh lika-likunya untuk menjadi seorang muslim yang taat. 'Mencari Hilal' bercerita soal perjalanan ayah-anak berbeda kutub, masing-masing diperankan dengan begitu gemilang oleh Deddy Sutomo dan Oka Antara; permainan keduanya membawa dampak emosional yang luar biasa. Deddy Sutomo bahkan diganjar Piala Citra untuk perannya di film ini. Tidak hanya berakhir sebagai kisah yang sangat manusiawi dari hubungan ayah-anak, dan hubungan sosial, 'Mencari Hilal' juga berhasil menjadi sebuah jendela kecil ke praktek toleransi beragama di Nusantara. Ini adalah film yang merangsang pemikiran, begitu elok untuk ditonton, dan kita tahu gambaran manusia-manusia di film ini bukanlah karikatur.

Sumber Lengkap : http://m.detik.com

0 komentar:

Post a Comment

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

Tips & Trik Terbaru !!